Kisah mistis selain kaya akan keanekaragaman budaya adat dan istiadat indonesia cukup kaya juga dengan hal hal yang berbau mistis dan hal; hal yang berhubungan dengan dunia gaib sebut saja salah satu hewan hewan pemakan daging yang hidup di air tawar yang biasa kita kenal dengan buaya.ternyata menurut kepercayaan sebagian orang buaya bukan hanya hewn belaka tetapi ada juga yang menyebut buaya adalah salah satu perwujudan dari mahluk gaib atau kembaran salah satu manisa yang tinggal didaratan langung saja kita bahas tentang si legenda buaya putih.
Legenda Buaya Putih
Kisah mistis Pada zaman dahulu kala, konon hiduplah keluarga bangsawan yang kaya raya dan sangat disegani di Tanah Makassar sana, tepatnya di daerah Bulu Kumba yang didiami oleh Tau Ugi (Suku Bugis). Keluarga bangsawan itu sangat terkenal karena menjadi keluarga yang mempersatukan dua gelar bangsawan tertinggi yaitu gelar bangsawan Makassar dan gelar bangsawan Bugis. Pihak suami berasal dari bangsawan Makassar yang bergelar Karaeng Pute yang sangat tampan dengan istrinya yang berasal dari bangsawan Bugis yang bernama Petta Bua yang terkenal dengan kecantikannya. Setelah menikah, kehidupan mereka sungguh bahagia, dikelilingi pelayan-pelayan setia, harta yang berlimpah, masyarakat yang hormat, dan keluarga yang harmonis.
Legenda Buaya Putih
Kisah mistis Pada zaman dahulu kala, konon hiduplah keluarga bangsawan yang kaya raya dan sangat disegani di Tanah Makassar sana, tepatnya di daerah Bulu Kumba yang didiami oleh Tau Ugi (Suku Bugis). Keluarga bangsawan itu sangat terkenal karena menjadi keluarga yang mempersatukan dua gelar bangsawan tertinggi yaitu gelar bangsawan Makassar dan gelar bangsawan Bugis. Pihak suami berasal dari bangsawan Makassar yang bergelar Karaeng Pute yang sangat tampan dengan istrinya yang berasal dari bangsawan Bugis yang bernama Petta Bua yang terkenal dengan kecantikannya. Setelah menikah, kehidupan mereka sungguh bahagia, dikelilingi pelayan-pelayan setia, harta yang berlimpah, masyarakat yang hormat, dan keluarga yang harmonis.
Hari berganti hari, kemudian bulan berganti bulan, dan tahun yang berganti tahun, tidaklah terasa usia pernikahan telah sampai pada tahun kelima belas. Karaeng Pute dan Petta Bua sudah mulai resah karena tidak hadirnya seorang buah hati di dalam pernikahannya yang sudah sekian lama. Mereka menempuh berbagai cara agar bisa mendapatkan seorang anak yang akan menjadi calon penerus gelar kebangsawanan mereka. Waktu berjalan dan kerinduan akan kehadiran sang buah hati semakin memuncak, sampai suatu hari Petta Bua jatuh sakit akibat memikirkan hal itu. Melihat kondisi sang istri, Karaeng Pute sangat terpukul, ia mengerahkan pelayan-pelayannya untuk mencari orang-orang yang terkenal sakti, termasuk dukun dan tabib dari berbagai penjuru negeri. Setelah satu per satu dukun dan tabib mencoba mengobati Petta Bua, dengan hasil mengecewakan pula satu per satu dari mereka menyerah karena tidak sanggup menyembuhkan penyakit Petta Bua.
Setelah kejadian itu, di tengah keputusasaan Karaeng Pute, ia mencoba menghibur istrinya dengan mengangkat seorang anak perempuan berusia satu tahun untuk dijadikan putrinya. Petta Bua mulai terhibur dengan kehadiran sang putri angkat yang cantik. Berbagai hal dilakukan oleh Karaeng Pute dan Petta Bua untuk menunjukkan kasih saying mereka. Hingga suatu hari, tanpa diduga Petta Bua mengandung. Semua menyambut dengan suka cita karena penerus gelar kebangsawanan akan lahir dari rahim Petta Bua sendiri. Bulan berganti bulan, usia kandungan telah mencapai sembilan bulan. Ini menjadi tanda bahwa segala sesuatu harus dipersiapkan termasuk pesta penyambutan sang buah hati. Suatu hari, di tengah malam buta, Petta Bua merasakan sakit dan Karaeng Pute menangkap gelagat bahwa istrinya akan melahirkan. Setelah mendatangkan tabib, sang buah hati lahir dengan selamat. Namun, Petta Bua kecewa karena paras putri kandungnya tidak secantik putri angkatnya.
Tahun berganti tahun, anak-anak Karaeng Pute dan Petta Bua tumbuh menjadi putri yang cantik. Namun, ada perbedaan di antara mereka karena Petta Bua lebih banyak memperhatikan si putri angkat yang ceria dan cantik. Si putri angkat tumbuh menjadi putri yang ceria dan senang bergaul, sedangkan sang anak kandung tumbuh menjadi anak pendiam yang seluruh kegiatannya hanya berlangsung di kamarnya yang megah. Hanya satu tempat yang mau didatanginya yaitu danau di dekat rumahnya yang dihuni seekor buaya hitam. Ia kerap kali menghabiskan waktu di sana dibanding memilih bermain dengan orang-orang di sekitarnya. Karaeng Pute dan Petta Bua merasa aneh melihat sang putri bertingkah seperti itu, di tambah lagi bisik-bisik orang yang melihatnya, mereka menganggap bahwa sang putri angkat lebih cocok menjadi penerus dibanding sang putri kandung yang aneh. Karaeng Pute mulai mencari cara untuk menghilangkan kebiasaan sang putri karena akan menjadi aib bagi keluarga termasuk memanggil tabib dan pesulap. Namun semuanya sia-sia.
Sampai pada suatu hari, di pagi-pagi buta, si putri kandung telah terlihat duduk di pinggir danau. Pada saat matahari sepenggalan, Karaeng Pute dan Petta Bua dikejutkan dengan pesan yang dititipkan putrinya melalui seorang pelayan. Dalam pesannya, si putri kandung menuliskan,
“Tetta…………., Etta…………...addampenanga…….alippessanna lao afa mampaji siriq na susama di bolae. Engka tau malebbi na iya.” Fole ri ana’ta maruddanie……
Setelah membaca pesan itu, karaeng Pute dan Petta Bua sambil menangis berlari sekuat tenaga menuju danau. Dari kejauhan, mereka melihat seeokor buaya putih yang bersinar menuruni danau dan mereka menamainya buaya fute. Nama itu sengaja diberikan sebagai penanda bahwa si buaya putih adalah bagian dari mereka. Sejak saat itu mereka secara rutin membawa fappasoroq ke danau.
Kata-Kata Sulit:
“Tetta…………., Etta…………...addampenangi ana’ta…….alippessanni lao afa mampaji siriqmi susa di bolae. Engka tau malebbi na iya.” Fole ri ana’ta maruddanie…… :
“Ayah……….., Ibu…………..maafkan anakmu…..relakan anakmu pergi karena hanya akan menjadi aib dan menyusahkan kalian di rumah. Ada yang lebih baik dari anakmu ini.” Dari anakmu yang rindu.